SEKILAS KERAJAAN SIAU DAN RAJA JACOB PONTOH

 

 

Kerajaan Siau adalah salah satu kerajaan nusantara yang pernah eksis selama lebih 4 abad, yaitu sejak pembentukannya di tahun 1510. Masa akhirnya pantasnya dipatok pada tahun 1956, yaitu setelah penguasa kerajaan ke-25, yaitu Presiden Pengganti Raja Siau Ch. David, mangkat. Pusat kerajaan ini berada terletak di pulau Siau yaitu pulau di Luat Sulawesi yang terletak pada (02o 45’ 00’’ LU dan 125o 23’ 59’’ BT) yang kini merupakan wilayah Kabupaten Kepulauan Sitaro (Siau, Tagulandang dan Biaro). Daerah ini adalah salah satu kabupaten perbatasan Utara Indonesia ke wilayah laut negara Filipina.

Pulau Siau sendiri hanya berukuran luas tak lebih dari 100 Km2. Dalam kiprahnya, kerajaan ini pernah mencakup daerah-daerah di bagian selatan Sangihe, pulau Kabaruan (Talaud), pulau Tagulandang, pulau-pulau teluk Manado dan wilayah pesisir jazirah Sulawesi Utara (kini Minahasa Utara), serta ke wilayah kerajaan Bolangitan atau Kaidipang (Bolaang Mongondow Utara) bahkan berekspansi armada lautnya sampai ke Leok Buol. Kerajaan ini dalam berbagai catatan Belanda dan sejarahwan lokal di Manado, H.M. Taulu, disebut-sebut pernah mengusir armada Kerajaan Makassar yang menduduki wilayah Bolaang Mongondow. Tidak terhitung juga menghalau para armada perompak asal Mindanao .

Meskipun wilayahnya kecil dan tidak dikenal banyak orang Indonesia tetapi kerajaan ini pernah memegang peran penting di bagian Utara dan Timur Indonesia. Hubert Jacobs, S.J. yang terkenal dengan rangkuman serial sejarah wilayah Indonesia Timur Documenta Malucensia, pernah membahas kerajaan ini. Jacobs memulai tulisannya dengan uraian mengutip perkataan seorang filsuf, ‘’kadang-kadang barang terkecil merupakan yang paling sulit direngkuh’’. Begitu analogi Jacobs atas kerajaaan kecil Siau ini. Ungkapan Jacobs itu mungkin diungkapkan karena Kompeni Belanda memang pernah sangat kesulitan mencaplok kerajaan ini ke dalam lingkup kekuasaannya karena kerajaan ini memang adalah wilayah yang dilindungi Spanyol yang berpusat di Manila, di benteng Intramuros (Filipina).

Tempat mukim raja atau istana Kerajaan Siau tercatat berpindah-pindah. Tahun 1510 saat didirikan oleh Raja Lokongbanua (1510-1549), kerajaan Siau dicatat berpusat di tempat yang bernama Kakuntungan. Tempat itu kemudian berganti nama menjadi ‘Paseng’ pada tahun 1516, karena di tempat itu misi Katolik Portugis pernah singgah dan menyelenggarakan misa paskah yang dalam catatan bahkan pernah turut dihadiri Raja Lokongbanua. Tempat bernama Paseng itu masih ada hingga kini di bagian Barat pulau Siau. Meski Katolik sudah menggelar acara misa itu, namun tahun itu tidak serta merta disebut agama Katolik sudah dianut kerajaan ini. Karena dalam catatan Portugis nanti pada tahun 1563 agama itu dianut, yaitu oleh Raja Siau II Posumah (1549-1587). Agama ini dibawa oleh paderi Diego de Magelhaes dari Kesultanan Ternate. Misi Katolik itu dalam catatan sejarah dikirimkan Portugis untuk mendahului kedatangan rombongan yang diutus Sultan Khairun dari Kerajaan Ternate untuk membawa siar Islam ke Sulawesi Utara. Rombongan siar itu bahkan langsung dipimpin Pangeran Baabullah. Raja Posumah tercatat dibaptis menjadi Katolik di sungai besar di Kota Manado merupakan raja kedua Siau dalam berbagai literatur Portugis dan Spanyol. Dia dikenal dengan nama baptis, Don Jeronimo atau Hieronimus. Dari wilayah Passeng, pernah berkali istana raja pindah ke Pehe, Ondong dan di Ulu atau Hulu Siau. Terakhir istana kerajaan Siau berada di Ulu. Istana itu masih tetap berdiri hingga tahun 70-an dan nanti hilang akibat terjangan lahar dari gunungapi Karangetang. Meskipun sudah sejak zaman Raja Posumah memeluk agama Katolik, namun nanti pada zaman Raja Winsulangi kerajaan Siau layak disebut sebagai kerajaan Katolik. Berbagai catatan paderi menyebutkan bagaimana penyebaran misi Katolik difasilitasi dari Siau ke berbagai tempat di Sulawesi Utara dan Tengah. Kejayaan kerajaan ini dicapai pada masa raja Batahi ((1639-1678) dan anaknya, Raja Ramenusa (1680-1715).

Tercatat sebelum masa VOC/ Belanda pada tahun 1594 Raja Siau Ketiga Winsulangi (1591-1639) atau yang dikenal dengan nama baptis Don Jeronimo Winsulangi mengikat perjanjian kerjasama keamanan dan perlindungan dengan gubernur Spanyol untuk wilayah Asia (Filipina) di Manila. Sejak itu kerajaan Siau dijaga oleh Spanyol. Dua benteng pertahanan di pulau Siau yang dirintis sejak Portugis (Santa Rosa dan Gurita) langsung dihuni bala tentara Spanyol. Juga merupakan tempat mukim para paderi Spanyol, Portugis dan Italia. Nanti pada tahun 1677 Siau ditundukkan oleh Belanda dengan mempergunakan Sultan Ternate Kaitjil Sibori sebagai pelaksana.

Tercatat sejak 9 November 1677 kerajaan ini menjadi bagian dari wilayah yang tunduk pada kehendak VOC-Belanda sebagaimana perjanjian lange contract yang ditandatangani Raja Franciscus Xaverius Batahi. Di antara pasal penting yang ditanda-tangani adalah kerajaan Siau beralih agama ke Kristen Protestan Belanda. Meski sudah Katolik, namun kerajaan ini terus menjalin hubungan persahabatan erat dengan kerajaan-kerajaan Islam, seperti kesultanan Ternate. Juga dengan Kerajaan Bolaang Mongondow dan Kerajaan Bolangitan (Kaidipang) yang sudah diislamkan via Ternate dan Gorontalo. Setelah jatuh ke dalam rengkuhan Belanda tahun 1677 para pangeran dan puteri kerajaan Siau tetap melanjutkan tradisi kawin-mawin dengan pangeran dan puteri kerajaan-kerajaan tetangga. Termasuk kawin-mawin dengan kerajaan Bolaang Mongondow dan Bolangitang yang muslim. Misalnya, perkawinan antara anak Raja Siau Lohintundali (1716-1752) yaitu Pangeran Ismail Jacobus (1752-1788) dengan puteri asal Bolaang Mongondow Esther Manoppo.

Raja Jacob Ponto juga merupakan salah satu pangeran hasil perkawinan antar kerajaan siau dan kerajaan Bolangitang, yaitu antara Raja Bolangitang Salmon Ponto dengan puteri Siau Vilivinia Jacobus. Ibu Jacob Ponto adalah satu di antara tiga puteri Siau hasil perkawinan Raja Ismael Jacobus dengan Putri Esther Manoppo. Ketiga putri itu legendaris karena masing-masing kawin dengan tiga raja. Dua raja selain Raja Salmon Ponto adalah Raja Kerajaan Tabukan Pahawuateng Paparang dan Raja Kerajaan Tahuna Namatanusa Rasuballah.

Jacob Ponto merupakan salah satu pangeran di kerajaan Kaidipang. Dia diangkat menjadi raja Siau ke – 14 oleh Komolang Bobatong Datu (Majelis Petinggi Kerajaan) yaitu semacam lembaga legislatif bentukan Raja Siau Ketiga Winsulangi. Memang majelis kerajaan ini sulit menetapkan pengganti raja dari para bangsawan yang ada di Siau, karena itu sejak raja Siau ke 11 hingga ke 14 diambil dari pangeran yang ibunya asal Siau dan berada di kerajaan-kerajaan tetangga. Jacob Ponto adalah raja ketiga yang diangkat dari luar Siau sesudah Franciscus Octavianus Paparang (1822-1838) dan Nicolaas Ponto (1839-1850). Dia adalah seorang muslim. Jacob Ponto tercatat memerintah selama 38 tahun. Pemerintahannya dihentikan Belanda karena dia membangkang mengibarkan bendera Merah-Putih-Biru di halaman istananya juga melawan untuk menaikkan pajak kepala setiap laki-laki dewasa 1 gulden serta melepaskan agamanya (Islam). Raja ini hanya mau mengibarkan bendera kerajaan berwarna merah putih yang memang sejak lama sudah dipakai sebagai atribut kerajaan, yaitu terhitung sejak zaman Raja Winsulangi. Pejabat Belanda yang dikirim untuk menggertak raja tidak berhasil membuat raja gentar. Dia berdebat dengan pejabat Belanda dan mengatakan untuk residen Manado: ‘’ Residen punya perintah, tetapi beta Raja Siau punya negeri dan bala rakyat. Simpanlah perintah tuan untuk negeri tuan.’’

Pada tahun 1889, Belanda dengan siasat seperti yang dilakukan pada Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 menipu juga raja Jacob Ponto. Wakil Residen Manado datang ke Siau dan memintanya naik ke kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Ulu Siau. Belanda menyatakan ingin merundingkan hal penting dengan raja. Namun pada saat dikapal itu malah raja Jacob Ponto ditawan, selanjutnya dibuang ke Karesidenan Tjirebon, Tak heran di kalangan masyarakat Siau raja ini terkenal dengan gelar ‘I tuang su Sirebong’ (Tuan Raja di Cirebon). Di Cirebon beliau mendarat dan tinggal di rumah di kompleks Pakayun, yaitu perkampungan Arab. Rupanya saat tiba di Cirebon raja ini menderita sakit, di antaranya sakit kulit. Jelas saja, karena kondisi ruang tahanan kapal yang kotor dan dia tidak mandi selama dalam pelayaran karena dirantai. Karena sakit itu raja minta dia dimukimkan ke sumber mata air panas di Cipanas. Sumber mata air itu terkenal manjur untuk pengobatan, karena mengandung yodium. Dia kemudian dipindahkan ke sebuah rumah miliki seorang Arab, rumah itu dikenal masyarakat sebagai rumah jangkung yang kini berada dekat hotel Cipanas, Sangkanurib. Menurut keterangan mantan kades desa itu raja itu pernah juga ditahan di hotel itu. Hotel itu memang milik seorang wanita Sunda yang kawin dengan seorang Belanda. Saat dirawat itu (titirah) akhirnya Raja Jacob Ponto mangkat dalam pengasingan.

Tahun 1966 makamnya dibersihkan dan dibangun oleh keluarga dari tokoh pejuang C.D. Ponto, asal Siau yang tinggal di Jakarta. Termasuk pada tahun 1980-an dibebaskan sebidang lahan sekitar makam. Di lahan itu sejak kurun tahun 1980-an hingga tahun 2004 setiap jelang hari kemerdekaan 17 Agustus menjadi tempat renungan suci dan upacara bendera. Keberanian Raja Jacob Ponto melawan Belanda menjadi inspirasi pergerakan kebangsaan Indonesia, secara khusus di Siau. Gerakan kebangsaan itu mendorong dibentuknya Partai Nasional Indonesia pimpinan Soekarno di Siau tahun 1928 yang merupakan cabang PNI pertama di luar Jawa. Selanjutnya pulau Siau menjadi pusat pergerakan kebangsaan Indonesia di kawasan Utara Indonesia. (Pitres Sombowadile).

sumber: http://perspektifsosiologidirnokaghoo.blogspot.com/2010/02/sekilas-kerajaan-siau-dan-raja-jacob.html?zx=650ddcbfa634f20b

Leave a comment