BAHASA SANGIHE

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

 

 

Langsung ke: navigasi, cari

Bahasa Sangir Dituturkan di Indonesia dan Filipina Wilayah Sulawesi Utara Jumlah penutur 255.000[1]  (tidak ada tanggal) Rumpun bahasa

Austronesia

  • Malayo-Polinesia
    • Bahasa Filipina
      • Bahasa Sangirik
        • Bahasa Sangir

Kode-kode bahasa ISO 639-2 – ISO 639-3 sxn

Bahasa Sangir biasa juga disebut bahasa Sangihé, Sangi, Sangih adalah bahasa yang digunakan oleh etnis Sangihe di Sulawesi Utara, yang tersebar di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud yaitu kepulauan yang terletak di utara jazirah Sulawesi. Sebagian penutur bahasa ini juga terdapat di kota Manado, kota Bitung dan Kabupaten Minahasa terutama daerah pesisir pantai utara.

Penutur bahasa Sangir yang marantau ke daerah lain tetap memelihara bahasa ini, menggunakannya di antara komunitas mereka. Tetapi mereka umumnya tidak mengajarkannya kepada keturunan mereka sehingga keturunan suku Sangihe di perantauan tidak lagi menggunakan bahasa ini.

Terdapat 3 aksen/dialek Bahasa Sangihe yaitu dialek Sangir Besar yang digunakan penduduk di gugusan kepulauan Sangihe Besar, dialek Siau digunakan penduduk di kepulauan Siau dan dialek Tagulandang digunakan penduduk di kepulauan Tagulandang dan Biaro.

Bahkan memperhatikan tata bahasa suku Bantik, suku asli di Manado, akan dengan mudah dapat dikenali kesamaannya sehingga seorang peneliti yang jujur dapat mengatakan bahwa bahasa Bantik berakar dari Bahasa Sangir.

Bahasa Sangihe sebenarnya bukan merupakan bahasa tulisan melainkan bahasa lisan, karena dilestarikan di dalam bahasa tutur masyarakatnya saja, sedangkan administrasi, surat menyurat dan hubungan dalam perniagaan menggunakan tulisan bahasa Melayu/Indonesia sejak zaman kolonial Belanda. Bahasa Sangihe tertulis direkam dengan baik sebenarnya di dalam Kitab Suci Alkitab dalam ketiga dialek. Literatur tersebut diterjemahkan dari Alkitab bahasa Indonesia oleh penerjemah Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).

Sementara itu, terdapat semacam puisi yang terdiri dari kurang lebih 20 macam bentuk, seperti kimba, tavaa, gane, paseva (kata-kata hikmah) dan dadendante (syair berantai).

SEKILAS KERAJAAN SIAU DAN RAJA JACOB PONTOH

 

 

Kerajaan Siau adalah salah satu kerajaan nusantara yang pernah eksis selama lebih 4 abad, yaitu sejak pembentukannya di tahun 1510. Masa akhirnya pantasnya dipatok pada tahun 1956, yaitu setelah penguasa kerajaan ke-25, yaitu Presiden Pengganti Raja Siau Ch. David, mangkat. Pusat kerajaan ini berada terletak di pulau Siau yaitu pulau di Luat Sulawesi yang terletak pada (02o 45’ 00’’ LU dan 125o 23’ 59’’ BT) yang kini merupakan wilayah Kabupaten Kepulauan Sitaro (Siau, Tagulandang dan Biaro). Daerah ini adalah salah satu kabupaten perbatasan Utara Indonesia ke wilayah laut negara Filipina.

Pulau Siau sendiri hanya berukuran luas tak lebih dari 100 Km2. Dalam kiprahnya, kerajaan ini pernah mencakup daerah-daerah di bagian selatan Sangihe, pulau Kabaruan (Talaud), pulau Tagulandang, pulau-pulau teluk Manado dan wilayah pesisir jazirah Sulawesi Utara (kini Minahasa Utara), serta ke wilayah kerajaan Bolangitan atau Kaidipang (Bolaang Mongondow Utara) bahkan berekspansi armada lautnya sampai ke Leok Buol. Kerajaan ini dalam berbagai catatan Belanda dan sejarahwan lokal di Manado, H.M. Taulu, disebut-sebut pernah mengusir armada Kerajaan Makassar yang menduduki wilayah Bolaang Mongondow. Tidak terhitung juga menghalau para armada perompak asal Mindanao .

Meskipun wilayahnya kecil dan tidak dikenal banyak orang Indonesia tetapi kerajaan ini pernah memegang peran penting di bagian Utara dan Timur Indonesia. Hubert Jacobs, S.J. yang terkenal dengan rangkuman serial sejarah wilayah Indonesia Timur Documenta Malucensia, pernah membahas kerajaan ini. Jacobs memulai tulisannya dengan uraian mengutip perkataan seorang filsuf, ‘’kadang-kadang barang terkecil merupakan yang paling sulit direngkuh’’. Begitu analogi Jacobs atas kerajaaan kecil Siau ini. Ungkapan Jacobs itu mungkin diungkapkan karena Kompeni Belanda memang pernah sangat kesulitan mencaplok kerajaan ini ke dalam lingkup kekuasaannya karena kerajaan ini memang adalah wilayah yang dilindungi Spanyol yang berpusat di Manila, di benteng Intramuros (Filipina).

Tempat mukim raja atau istana Kerajaan Siau tercatat berpindah-pindah. Tahun 1510 saat didirikan oleh Raja Lokongbanua (1510-1549), kerajaan Siau dicatat berpusat di tempat yang bernama Kakuntungan. Tempat itu kemudian berganti nama menjadi ‘Paseng’ pada tahun 1516, karena di tempat itu misi Katolik Portugis pernah singgah dan menyelenggarakan misa paskah yang dalam catatan bahkan pernah turut dihadiri Raja Lokongbanua. Tempat bernama Paseng itu masih ada hingga kini di bagian Barat pulau Siau. Meski Katolik sudah menggelar acara misa itu, namun tahun itu tidak serta merta disebut agama Katolik sudah dianut kerajaan ini. Karena dalam catatan Portugis nanti pada tahun 1563 agama itu dianut, yaitu oleh Raja Siau II Posumah (1549-1587). Agama ini dibawa oleh paderi Diego de Magelhaes dari Kesultanan Ternate. Misi Katolik itu dalam catatan sejarah dikirimkan Portugis untuk mendahului kedatangan rombongan yang diutus Sultan Khairun dari Kerajaan Ternate untuk membawa siar Islam ke Sulawesi Utara. Rombongan siar itu bahkan langsung dipimpin Pangeran Baabullah. Raja Posumah tercatat dibaptis menjadi Katolik di sungai besar di Kota Manado merupakan raja kedua Siau dalam berbagai literatur Portugis dan Spanyol. Dia dikenal dengan nama baptis, Don Jeronimo atau Hieronimus. Dari wilayah Passeng, pernah berkali istana raja pindah ke Pehe, Ondong dan di Ulu atau Hulu Siau. Terakhir istana kerajaan Siau berada di Ulu. Istana itu masih tetap berdiri hingga tahun 70-an dan nanti hilang akibat terjangan lahar dari gunungapi Karangetang. Meskipun sudah sejak zaman Raja Posumah memeluk agama Katolik, namun nanti pada zaman Raja Winsulangi kerajaan Siau layak disebut sebagai kerajaan Katolik. Berbagai catatan paderi menyebutkan bagaimana penyebaran misi Katolik difasilitasi dari Siau ke berbagai tempat di Sulawesi Utara dan Tengah. Kejayaan kerajaan ini dicapai pada masa raja Batahi ((1639-1678) dan anaknya, Raja Ramenusa (1680-1715).

Tercatat sebelum masa VOC/ Belanda pada tahun 1594 Raja Siau Ketiga Winsulangi (1591-1639) atau yang dikenal dengan nama baptis Don Jeronimo Winsulangi mengikat perjanjian kerjasama keamanan dan perlindungan dengan gubernur Spanyol untuk wilayah Asia (Filipina) di Manila. Sejak itu kerajaan Siau dijaga oleh Spanyol. Dua benteng pertahanan di pulau Siau yang dirintis sejak Portugis (Santa Rosa dan Gurita) langsung dihuni bala tentara Spanyol. Juga merupakan tempat mukim para paderi Spanyol, Portugis dan Italia. Nanti pada tahun 1677 Siau ditundukkan oleh Belanda dengan mempergunakan Sultan Ternate Kaitjil Sibori sebagai pelaksana.

Tercatat sejak 9 November 1677 kerajaan ini menjadi bagian dari wilayah yang tunduk pada kehendak VOC-Belanda sebagaimana perjanjian lange contract yang ditandatangani Raja Franciscus Xaverius Batahi. Di antara pasal penting yang ditanda-tangani adalah kerajaan Siau beralih agama ke Kristen Protestan Belanda. Meski sudah Katolik, namun kerajaan ini terus menjalin hubungan persahabatan erat dengan kerajaan-kerajaan Islam, seperti kesultanan Ternate. Juga dengan Kerajaan Bolaang Mongondow dan Kerajaan Bolangitan (Kaidipang) yang sudah diislamkan via Ternate dan Gorontalo. Setelah jatuh ke dalam rengkuhan Belanda tahun 1677 para pangeran dan puteri kerajaan Siau tetap melanjutkan tradisi kawin-mawin dengan pangeran dan puteri kerajaan-kerajaan tetangga. Termasuk kawin-mawin dengan kerajaan Bolaang Mongondow dan Bolangitang yang muslim. Misalnya, perkawinan antara anak Raja Siau Lohintundali (1716-1752) yaitu Pangeran Ismail Jacobus (1752-1788) dengan puteri asal Bolaang Mongondow Esther Manoppo.

Raja Jacob Ponto juga merupakan salah satu pangeran hasil perkawinan antar kerajaan siau dan kerajaan Bolangitang, yaitu antara Raja Bolangitang Salmon Ponto dengan puteri Siau Vilivinia Jacobus. Ibu Jacob Ponto adalah satu di antara tiga puteri Siau hasil perkawinan Raja Ismael Jacobus dengan Putri Esther Manoppo. Ketiga putri itu legendaris karena masing-masing kawin dengan tiga raja. Dua raja selain Raja Salmon Ponto adalah Raja Kerajaan Tabukan Pahawuateng Paparang dan Raja Kerajaan Tahuna Namatanusa Rasuballah.

Jacob Ponto merupakan salah satu pangeran di kerajaan Kaidipang. Dia diangkat menjadi raja Siau ke – 14 oleh Komolang Bobatong Datu (Majelis Petinggi Kerajaan) yaitu semacam lembaga legislatif bentukan Raja Siau Ketiga Winsulangi. Memang majelis kerajaan ini sulit menetapkan pengganti raja dari para bangsawan yang ada di Siau, karena itu sejak raja Siau ke 11 hingga ke 14 diambil dari pangeran yang ibunya asal Siau dan berada di kerajaan-kerajaan tetangga. Jacob Ponto adalah raja ketiga yang diangkat dari luar Siau sesudah Franciscus Octavianus Paparang (1822-1838) dan Nicolaas Ponto (1839-1850). Dia adalah seorang muslim. Jacob Ponto tercatat memerintah selama 38 tahun. Pemerintahannya dihentikan Belanda karena dia membangkang mengibarkan bendera Merah-Putih-Biru di halaman istananya juga melawan untuk menaikkan pajak kepala setiap laki-laki dewasa 1 gulden serta melepaskan agamanya (Islam). Raja ini hanya mau mengibarkan bendera kerajaan berwarna merah putih yang memang sejak lama sudah dipakai sebagai atribut kerajaan, yaitu terhitung sejak zaman Raja Winsulangi. Pejabat Belanda yang dikirim untuk menggertak raja tidak berhasil membuat raja gentar. Dia berdebat dengan pejabat Belanda dan mengatakan untuk residen Manado: ‘’ Residen punya perintah, tetapi beta Raja Siau punya negeri dan bala rakyat. Simpanlah perintah tuan untuk negeri tuan.’’

Pada tahun 1889, Belanda dengan siasat seperti yang dilakukan pada Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 menipu juga raja Jacob Ponto. Wakil Residen Manado datang ke Siau dan memintanya naik ke kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Ulu Siau. Belanda menyatakan ingin merundingkan hal penting dengan raja. Namun pada saat dikapal itu malah raja Jacob Ponto ditawan, selanjutnya dibuang ke Karesidenan Tjirebon, Tak heran di kalangan masyarakat Siau raja ini terkenal dengan gelar ‘I tuang su Sirebong’ (Tuan Raja di Cirebon). Di Cirebon beliau mendarat dan tinggal di rumah di kompleks Pakayun, yaitu perkampungan Arab. Rupanya saat tiba di Cirebon raja ini menderita sakit, di antaranya sakit kulit. Jelas saja, karena kondisi ruang tahanan kapal yang kotor dan dia tidak mandi selama dalam pelayaran karena dirantai. Karena sakit itu raja minta dia dimukimkan ke sumber mata air panas di Cipanas. Sumber mata air itu terkenal manjur untuk pengobatan, karena mengandung yodium. Dia kemudian dipindahkan ke sebuah rumah miliki seorang Arab, rumah itu dikenal masyarakat sebagai rumah jangkung yang kini berada dekat hotel Cipanas, Sangkanurib. Menurut keterangan mantan kades desa itu raja itu pernah juga ditahan di hotel itu. Hotel itu memang milik seorang wanita Sunda yang kawin dengan seorang Belanda. Saat dirawat itu (titirah) akhirnya Raja Jacob Ponto mangkat dalam pengasingan.

Tahun 1966 makamnya dibersihkan dan dibangun oleh keluarga dari tokoh pejuang C.D. Ponto, asal Siau yang tinggal di Jakarta. Termasuk pada tahun 1980-an dibebaskan sebidang lahan sekitar makam. Di lahan itu sejak kurun tahun 1980-an hingga tahun 2004 setiap jelang hari kemerdekaan 17 Agustus menjadi tempat renungan suci dan upacara bendera. Keberanian Raja Jacob Ponto melawan Belanda menjadi inspirasi pergerakan kebangsaan Indonesia, secara khusus di Siau. Gerakan kebangsaan itu mendorong dibentuknya Partai Nasional Indonesia pimpinan Soekarno di Siau tahun 1928 yang merupakan cabang PNI pertama di luar Jawa. Selanjutnya pulau Siau menjadi pusat pergerakan kebangsaan Indonesia di kawasan Utara Indonesia. (Pitres Sombowadile).

sumber: http://perspektifsosiologidirnokaghoo.blogspot.com/2010/02/sekilas-kerajaan-siau-dan-raja-jacob.html?zx=650ddcbfa634f20b

Sejarah Raja-Raja di Sulawesi

Raja-raja Bolaang Mongondow, juga berasal dari keturunan Mokodoludut kerajaan Bowontehu melalui Jayubangkai serta Gumansalangi melalui Meliku Nusa yang menikah dengan Menong Sangiang.

 

Raja Tadohe anak dari raja Mokodompit raja Bolaang Mongondow dari ibu berasal dari kerajaan Siau yaitu cucu dari raja Lokonbanua II dan Mangima Dampel yang berasal dari keturunan Gumansalangi dari Kotabatu Mindanow Kulano (raja) pertama kerajaan Tampung Lawo dari permaisuri Sangiang Konda Wulaeng (putri khayangan) yang bergelar Madellu dan Mekilla.

 

Raja Tadohe menikah dengan Rasingan adalah keturunan ke sembilan dari Gumansalangi. Boki Rasingang cucu dari Raja Batahi dari permaisuri Maimunah dari kerajaan Rimpulaeng (Tabukan)bernama Raja Don Franciskus Macaampo Juda I, serta anak dari Hendrik Daramenusa Jacobus. Alkisah ketika raja Mokodompit gugur dalam peperangan, Tadohe masih kecil dan dibawa oleh ibunya ke Siau. Kerajaan Bowontehu serta Kerajaan-kerajaan di Bolaang Mongondow diduduki oleh pasukan kerajaan Goa-Tallo.

 

Pada tahun 1520 kerajaan di Bolaang Mongondow meminta bantuan kepada Raja Batahi untuk membebaskan mereka dari pendudukan kerajaan Goa-Tallo. Kerajaan-kerajaan Sangihe mempunyai ikatan persaudaraan dengan kerajaan Bolaang Mongondow karena berasal dari kerajaan Bowontehu dan juga perkawinan anak-anak raja. Maka raja Batahi memerintahkan palinglima Hengkengunaung untuk menggempur pasukan kerajaan Goa-Tallo. Panglima perang Siau Laksamana Hengkengunaung turun melalui pelabuhan Pehe lewat Sasambo “Lumintu bo’u Pehe tarai ipe sombang endai makawawa Untung”. Maka pasukan kerajaan Goa-Tallo berhasil dikalahkan terus diburu hingga ke Buol-Leok.seperti pernah ditulis beberapa penulis Eropa dan H.M. Taulu. Tak heran H.B.Elias dalam bukunya juga menyebut Siau imperium dalam format kecil.

 

Keberhasilan pasukan Hengkengunaung mengusir pasukan kerajaan Goa-Tallo, maka semua kerajaan di Bolaang Mongondow harus membayar upeti setiap tahun ke Siau dan kerajaan-kerajaan di Bolaang Mongondow harus di pimpin oleh raja Tadohe dan keturunannya turun-temurun melalui kesepakatan bersama. Raja Tadohe melalui Boki Rasingan di karunia anak masing-masing bernama Sadadang,Tendenang, Kaki.

 

Loloda Daloda Mokoagow adalah cucu dari Raja Tadohe merupakan keturunan ke sebelas dari Raja Gumansalangi Madellu dengan Sangiang Konda Wulaeng dari kerajaan Tampung Lawo. Laloda Daloda Mokoagow adalah raja pertama yang menjadi raja kerajaan Manarow yang berpusat di daratan pulau Sulawesi bagian Utara sekarang disebut Manado,sebelumnya bernama kerajaan Bowontehu/Wawontehu yang berpusat di pulau Manarouw (Manado Tua). Kemudian Bowontehu/Wowontehu berubah menjadi Kerajaan Manarouw dengan raja bernama Laloda Daloda Mokoagow.

 

Dahulu Kerajaan ini pernah di kuasai oleh suku Bajo dan diserbu oleh pasukan sultan Kaitjil Sibori dari Ternate bersama pasukannya dari Laloda tetapi berhasil dihalau oleh pangeran Meliku-Nusa dari kerajaan Tampung Lawo. Pangeran Meliku-Nusa tidak kembali ke Sangir tapi terus mengembara mengalakan jagoan-jagoan di Bolaang Mongondow kemudian menikah dengan Menong Sangiang putri raja Mongondow.

 

Kerajaan Manarouw merupakan pembentukan oleh Gubernur VOC Maluku, Robertus Padtbrugge ketika berada di Manarow (Gahenang/Wenang/Manado tahun 1677), memindahkan ke Singkil 54 orang dari (pulau Manarouw Manado Tua) sakit karena kekurangan makanan. Penduduk/Rakyat kerajaan Manarow adalah orang Sangir-Talaud, sesuai catatan Gubernur VOC Maluku, Robertus Padtbrugge ketika berada di Manado tahun 1677 mengatakan bahwa orang Sangir Tualah adalah penduduk pribumi yang pertama di Manado, yakni sekitar tahun 1332.

 

Manado bukan Minahasa,(sejarah Minahasa-Kontrak 19 Januari 1679 hal 61). Minahasa itu Malesung, disebut oleh orang Sangir Tau Kaporo (orang yang hidup digunung), sehingga sekarang ini orang Minahasa disebut orang gunung. Manarauw adalah wilayah toritorial dari kerajaan Sangihe-Talaud yang terjauh, hingga kini etnis Sangihe Talaud menyebut Manado adalah Manarauw. Wilayah kerajaan Manarouw sesuai memori Padtbrugge disebut menurut nama asalnya meliputi : P. Manarauw(Manado Tua), P. Siladeng, P. Bunaken, P. Mantehage, P. Nain, P. Talise, P. Gangga, P. Bangka dan P. Lembeh serta daerah pesisir pulau Sulawesi.

 

***[Sumber tulisan: Buku karya Shinzo Hayase, Domingo M. Non, dan Alex J. Ulaen yang berjudul “SILSILAS/TARSILAS (GENEALOGIES) AND HISTORICAL NARRATIVES IN SARANGGANI BAY AND DAVAO GULF REGIONS, SOUTH MINDANAO, PHILIPPINES, AND SANGIHE-TALAUD ISLANDS, NORTH SULAWESI, INDONESIA” halaman 251-252]. Hingga kini lokasi-lokasi tersebut masih ditempati oleh suku Sangihe Talaud dan Sitaro.

 

Raja Laloda Daloda Mokoagow juga sebagai raja, kemudian kerajaan Manarow/Wenang digantikan oleh Donangbala seorang pendekar ahli pedang karena meiliki pedang sakti. Donangbala adalah keturunan dari Meliku-Nusa dengan Menong Sangiang.Penduduk Gahenang/wenang adalah orang Sangir Talaud sejak kerajaan Bowontehu mulai berdiri dan berkembang menjadi banyak. Kerajaan-kerajaan SaTaS dikenal sejak jaman kerajaan Majapahit disebutkan dalam Kakawin Negarakertagama sebagai Uda Makataraya, yang berlabu di Tanjung Pulisang kemudian berlabuh di pulau Manado Tua lalu menuju ke Sulu tetapi tenggelam di perairan Sangir. Jadi Manado bukan milik etnis tertentu,dengan dikuasai melalui mengkaburkan/merekayasa sejarah kota Manado yang bermula berakar dari kejayaan Bowontehu kemudian menjadi kerajaan Manarauw(Manado). Tidak ada yang namanya suku Bowontehu ataupun suku Mindanao yang benar adalah suku Sangil atau Sanghi atau Sangi atau sangir Talaud, Manado sekarang ini terdiri dari berbagai etnis yang ada di Nusantara, dan sebagai milik bangsa yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia jadi milik kita bersama.

 

sumber : http://onenusantara.blogspot.com/2011/10/sejarah-raja-raja-di-sulawesi-utara.html

SEJARAH SUKU SANGIHE

Pada tahun 800-san Masehi di Cotabato Mindanauw sekarang Filipina dahulu ada sebuah kerajaan suku bangsa negrito yang dipimpin oleh seorang Kulano(raja). Kerajaan ini diserang oleh suku bangsa Mongolia, akan tetapi seorang anak raja yang bernama Humansandulage beristeri Tendensehiwu berhasil meloloskan diri beserta para pengikutnya antara lain Batahasulu atau Manderesulu orang sakti kerajaan yang memeliki papehe(ikat pinggang dengan ukuran satu jengkal), lenso (saputangan), dan paporong (ikat kepala). Dengan melemparkan ikat pinggang berukuran satu jengkal kelaut yang kemudian menjelmah menjadi Dumalombang atau ular naga besar. Dumalombang membawa mereka ke Selatan lalu tiba di daerah Molibagu. Ditempat ini mereka berkabung sambil menangis selama empat puluh hari empat puluh malam. kemudian mereka berikhar menjadi suku bangsa yang baru yaitu Suku Bangsa Sangihe. Setelah masa perkabungan berakhir mereka hidup menetap dihutan yang terletak di sebuah puncak bukit lalu mendirikan sebuah kerajaan yang bernama Wowontehu/Bowontehu. Bowontehu berasal dari bahasa Sangihe yaitu Bowong artinya atas dan Kehu artinya hutan. Jadi Bowontehu adalah kerajaan yang terletak diatas hutan. Humansadulage sebagai Kulano (Datu/Raja) dan Tendensehiwu sebagai Boki (Permaisuri). Humassadulage dan Tendensehiwu memperanakan Budulangi. Budulangi bersiteri Putri Ting yang berasal dari khayangan. Budulangi dan Putri Ting memiliki seorang anak perempuan yang bernama Toumatiti. Toumatiti hamil dari seorang Pangeran yang datang dalam mimpinya, Maka lahirlah seorang putra diberi nama Mokodoludud. Mokodoludud yang artinya Pangeran dari khayangan. Mokodoludud menikah dengan Bania yang keluar dari buluh tipis kuning ditemukan dihutan oleh pasangan suami istri yaitu Sanaria dan Amaria lalu dipelihara.

Pada Suatu ketika Tahun 1000-an Masehi terjadi pergolakan perang disana-sini sehingga Mokodoludud beserta para pengikut yang setia meninggal Molibagu lalu tiba di Pasang Bentenan di baling-baling yaitu tempat yang bernama Posolo berada disebelah timur Malesung atau Minahasa sekarang disebut Lembe. Ditempat ini mereka tinggal tidak lama sebab diserang oleh Suku Mori, Laloda dan Mangindanouw. Mokodoludud dan rombongan mengungsi ke sebuah gunung dengan jalan mengintari (belitan) lalu tempat itu disebut Lokong. Baunia melahirkan seorang putra bagi Mokodoludud lalu diberi nama Lokonbanua. Kemudian Mokodoludud ingin mencari tempat seperti pasang bentenan lalu berangkat dan tiba di pulau Manarauw (Manado Tua). Kata Manarou berasal dari bahasa Sangir yaitu Mararau; Marau yang artinya Jauh.

 Mokodoludud membangun kembali kerajaan Bowontehu dengan pusat pulau Manarouw dengan gelar Kulano. Di Manarouw ini Mokodoludud dan Baunia dikaruniai lagi anak yang bernama, Jayubangkai, Uringsangiang dan Sinangiang. Penduduk kerajaan ini berkembang bertambah banyak sehingga sebagian mendiami daerah bagian utara dataran pulau Sulawesi yaitu Gahenang/Mahenang nama kuno untuk Wenang berasal dari bahasa Sangir Tua yaitu artinya api yang menyala/bercahaya/bersinar(suluh, obor, api unggun). Perpindahan dilakukan dengan menggunakan perahu (Bininta), melalui tempat yang bernama Tumumpa berasal dari bahasa Sangir yang artinya turun sambil melompat,kemudian menetap di Singkil berasal dari bahasa sangir Singkile artinya pindah/menyingkir. Mereka menyebar sampai ke Pondol bahasa Sangir disebut Pondole artinya di ujung. Wilayah kerajaan Manarouw sesuai memori Padtbrugge disebut menurut nama asalnya meliputi : P. Manado Tua, P. Siladeng, P. Bunaken, P. Mantehage, P. Nain, P. Talise, P. Gangga, P. Bangka dan P. Lembeh serta daerah pesisir pulau Sulawesi. .***[Sumber tulisan: Buku karya Shinzo Hayase, Domingo M. Non, dan Alex J. Ulaen yang berjudul “SILSILAS/TARSILAS (GENEALOGIES) AND HISTORICAL NARRATIVES IN SARANGGANI BAY AND DAVAO GULF REGIONS, SOUTH MINDANAO, PHILIPPINES, AND SANGIHE-TALAUD ISLANDS, NORTH SULAWESI, INDONESIA” halaman 251-252]. Penduduk Kerajaan Bowontehu/Manarouw adalah orang sangir (Graafland, Minahasa masa lalu dan masa kini, terjemahan Joost Kulit).

 Pada suatu ketika kembali Mokodoludud memerintahkan rakyatnya membuat perahu(Bininta), setelah selesai pembuatannya maka diuji kemampuan untuk mengapung, mendayung serta berlayar dari perahu. Kapal tersebut memuat putra-putri raja yaitu Lokonbanua, Uringsangiang, Sinangiang beserta Batahalawo, Manganguwi, Bikibiki, Banea dan Tungkela. Raja Mokodoludud berpesan kepada anak-anaknya agar selama dalam pelayaran tidak boleh mengeluarkan sepatah katapun, akan tetapi Sinangiang lupa ketika melihat sebuah pulau lalu bertanya pulau apakah itu ?. Maka tiba-tiba badai mengamuk sehingga terdampar di pulau Tagulandang, Siau dan Sangir. Ditempat ini Uringsangiang dan Sinangiang menangis terus menerus sehingga tempat ini disebut Sangihe yang bersasal dari kata Sangi, Sangitang, Masangi, Mahunsangi artinya menangis. Mereka hidup dan menetap ditempat ini, Lokonbanua menikah dengan Sinangiang.

 Pada tahun 1380 seorang pedagang arab bernama Sharif Makdon setelah mengunjungi ternate lalu tiba di Manarouw(Manado Tua) menyebarkan Agama Islam kemudian berangkat ke Mindanouw. Kemudian jalur ini diikuti oleh pelaut asal Portugis Pedro Alfonso pada tahun 1511, Pedro Alfonso menemukan Ternate, setelah itu armada dagang asal Portugis secara resmi mengirimkan Antonio de Abreu ke Maluku tahun 1512. Pada tahun itu juga Portugis mengirimkan tiga kapal layar ke Manarouw,(Pulau Manado Tua).

 Lokon Banua II (leken artinya nama yang diangkat kembali) adalah keturunan kesembilan dari Raja Mokodoludud Kulano(raja) Bowontehu. Berlayar dari Manarouw bersama dengan pengikutnya pergi ke pulau Siauw lalu mendirikan kerajaan Leken Banua II atau Karangetang pada tahun 1510. Lokongbanua II Keturunan ke 9 dari Raja Gumansalangi putra raja Tumondai dengan Boki Bitang Keramat kakak kandung pendiri Kiraha (Kedatuan ternate) dari Cotabato di Mindanauw Philipina Selatan Pendiri Kedatuan Tampung Lawo abad 12 serta cucu dari Datu Hinbawo I dari kerajaan Sulu beristrikan Sangiang nilighidé dan mempunyai anak perempuan, Umbongduata namanya. Umbongduata ini jadi salah satu isteri dari Datuk Pahawonsulugé, lalu mempunayai anak Lokongbanua II

Bangsa barat yang pertama-tama menemukan Manarouw ialah pelayar Portugis Simao d’Abreu pada tahun 1523.

Nama Manarow dicantumkan dalam peta dunia oleh ahli peta dunia, Nicolas_Desliens‚ pada 1541. Manarouw menjadi pintu gerbang transit kawasan timur Indonesia bagi kapal-kapal dagang bangsa asing, sehingga menjadi daya tarik bagi pedagang Cina.

Pada tahun 1563 Peter Diego de Magelhaes dari Portugis berangkat dari Ternate menuju Manarouw mengajarkan pokok-pokok iman Kristen. Lalu Raja Manarouw bersama rakyatnya 1500 orang dibaptis kesemuanya adalah orang Sangir. Baptisan dilakukan di muara sungai Tondano dan dihadiri oleh Raja Siauw bernama Possuma. Raja Possuma lalu memberi diri untuk dibaptis dengan nama Don Jeronimo (nama portugis) Kemudian Peter Diego de Magelhaes ke Kaidipan (pesisir utara Gorontalo) membaptis 2000 orang selama 8 hari.

Tahun 1570 Bulango dari kerajaan Bowontehu (pulau Manarouw) berlayar menuju Tagulandang. Bulango mempunyai seorang anak perempuan bernama Lohoraung mendirikan kerajaan Taghulandang atau Mandorokang di pulau itu bersama para pengikutnya. Bulango adalah saudara dari Lokongbanua II dimana keduanya adalah keturunan ke sembilan dari raja Mokodoludut dengan istrinya Baunia dari kerajaan Bowontehu.

Pada tahun 1585 Peter lain mengunjungi Manarouw ternyata iman Kristen telah lenyap kembali menjadi kafir. 1606 Spanyol merebut kembali Maluku Utara maka penyebaran agama Kristen kembali dilakukan di Ternate.

Pada tahun 1614 Spanyol memusatkan kekuatannya di Manarouw untuk menghadapi serbuan Belanda, dibangun sebuah benteng dipesisir kota itu yang berhadapan dengan pulau Manado Tua .

1619 Penduduk Manarouw sebagian besar telah beralih agama menjadi islam. Oleh karena itu Misi Injil mengalihkan penyebaran ke pegunungan yaitu orang-orang dari suku pedalaman yang disebut alifuru lalu tiba Tomohon dan Tondano. Namun misi ini gagal, karena kedatangan misionaris dihubungkan dengan hasil panen. Saat itu panen tidak berhasil sehingga dikatakan dewa telah murka, para misionaris di usir. Seperti dalam surat Pater Blas Palomino tanggal 8 Juni 1619. Sebelum dia terbunuh di Minahasa pada tahun 1622, dia menulis mengenai sikap permusuhan para Walian pemimpin agama suku terhadap para Missionaris asal Spanyol. Juga Walian Kali yang menghasut kepala Negeri Kali bernama Wongkar untuk menolak dan melarang para Missionaris Spanyol untuk masuk ke pedalaman Minahasa.

Pada tahun 1623 Kerajaan Bawontehu yang berpusat di pulau Manarouw (Manado Tua) dipindakan ke Gahenang/Mahenang nama kuno Wenang berasal dari bahasa Sangir artinya api yang menyala atau bersinar (Suluh,obor), oleh karena dialek bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda mereka mengucapkan Wenang demikian juga dengan Manarouw disebut Manado. Kemudian Bowontehu/Wowontehu berubah menjadi Kerajaan Manarouw dengan raja bernama Laloda Daloda Mokoagow pada kurun waktu tahun 1644-1674. Penduduk kerajaan ini adalah orang sangihe (Graafland, Minahasa masa lalu dan masa kini, terjemahan Joost Kulit). Raja Loloda Daloda Mokoagow ini adalah anak dari Raja Tadohe. Sedangkan Tadohe sendiri adalah cucu dari Raja Siauw yang bernama Possuma dan cicit dari raja Tabukan(Rimpulaeng) Don Francesco Macaapo Juda I. Kerajaan Manarouw adalah sebagai kerajaan terjauh dari wilayah toritorial kerajaan Sangihe. Setelah Raja Laloda Daloda Mokoagow kemudian menjadi raja adalah Donangbala yang memiliki pedang sakti.

Suku Bantik bukan penduduk pertama yang mendiami Manarow menurut cerita Pada Tahun 1654 Salah satu kerajaan di Sangir yakni kerajaan Malingaheng Kendahe yang dipimpin oleh Raja Sahmensi Arang (Syam Syach Alam)mempunyai seorang anak bernama Putri Bulaeng Tanding. Kerajaan ini dengan wilayah bagian barat pulau sangihe hingga pulau Kaluwurang. Kerajaan ini tenggelam oleh karena peritiwa Dimpuluse (air jatuh dari langit)mereka terdampar di tempat yang bernama Panimbuhing. Bukti peristiwa ini adalah Tanjung Maselihe di dalam terkubur kursi emas dan makota raja konon katanya di jaga oleh ikan hiu. Dari peristiwa tersebut sebagian selamat termasuk seorang yang bernama Bantik. Kemudian mereka mengangkat Bantik sebagai pemimpin lalu berihkrar menjadi satu suku yang baru yaitu Suku Bantik, dengan catatan mereka tidak boleh hidup bersama dalam satu wilayah, agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Maka diatur kelompok-kelopok berlayar dengan perahu menuju ke Mindanao,ke Beo, ke kema, ke Belang,ke Manaraw, Leok-Buol sedangkan Bantik sendiri pergi ke Mongondow. Jadi suku Bantik merupakan anak suku dari suku Sangir.

Dalam surat Pater Juan Yranzo yag ditulis di Manila tahun 1645 menyebutkan tentang pengusiran Spanyol dari tanah Minahasa pada tanggal 10 Agustus 1644. Pengusiran tersebut mengakibatkan terbunuhnya Pater Lorenzo Garalda. Para Walian Minahasa menghasut masyarakat untuk membunuh semua Missionaris Spanyol. Rencana para walian bocor hingga para Missionaris Spanyol sempat mengungsi ke tepi pantai dan berperahu ke Siauw.

 Tahun 1655 Pembangunan Benteng ‘De_Nederlandsche_Vastigheit‚’ dari kayu-kayu balok sempat menjadi sengketa sengit antara Spanyol dengan Belanda. Kos berhasil meyakinkan pemerintahannya di Batavia bahwa pembangunan benteng sangat penting untuk mempertahankan posisi Belanda di Laut Sulawesi. Dengan menguasai Laut Sulawesi akan mengamankan posisi Belanda di Maluku dari Spanyol. Setelah memperoleh dukungan sepenuhnya dari Batavia, Awal Tahun 1661 Kos dari Ternate berlayar menuju Manarouw disertai dua kapal perang Belanda, Molucco dan Diamant. Kekuatan ini mengalahkan Spanyol di Manarow. Tahun 1673 Belanda memapankan pengaruhnya di Manarouw dan merubah benteng semula dengan bangunan permanen dari beton. Lalu Benteng ini diberi nama baru, ‘Ford Amsterdam‚’ dan diresmikan oleh Gubernur VOC dari Ternate. Cornelis Francx‚ pada 14 Juli 1673 (Benteng terletak dikota Manado dibongkar oleh Walikota Manado pada 1949 – 1950).

 Tahun 1675 Pendeta J. Montanus mendapati bahwa jemaat-jemaat di Manado sudah sangat lemah. Tahun 1677 VOC menetapkan Pendeta Zacharias Cacheing di Manado. Sampai tahun 1700 tidak banyak lagi pendeta yang mau datang ke Indonesia. Kekristenan pada masa VOC terjadi bukan karena keimanan tetapi karena tekanan politik. (Prof.Dr.I.H.Enklaar.Sejarah gereja ringkas,81,1966)

Pada tahun 1677 Compeni mengadakan perjanjian dengan Raja Siau dengan persaratan kesepakatan bahwa Raja serta rakyat harus beralih agama dari Kristen Katolik menjadi Protestan. Gubernur VOC Maluku, Robertus Padtbrugge ketika berada di Manado tahun 1677 mengatakan bahwa orang Sangir Tualah adalah penduduk pribumi yang pertama di Manado, yakni sekitar tahun 1332.

 Manado bukan Minahasa,(sejarah Minahasa-Kontrak 19 Januari 1679 hal 61). Minahasa itu Malesung, disebut oleh orang Sangir Tau Kaporo (orang yang hidup digunung), sehingga orang Minahasa disebut orang gunung. Manarauw adalah wilayah toritorial dari kerajaan Sangihe-Talaud.

 Perserikatan Pekabaran Injil Belanda Van der Kamp mendirikan NZG Tahun 1797. Tahun 1817 Pendeta Josep Kam berkunjung ke Minahasa. Tahun 1819 Lenting berkunjung ke Minahasa.Pendeta Josep Kam dan Ds. Lenting mendapati orang Kristen tidak ada pelayanan lagi,lalu mereka melaporkan keadaan itu pada NZG di Belanda. Pada tahun 1822 atas laporan diatas maka NZG mengirim 2 orang berkebangsaan Swiss, L.Lamers di Kema ( meninggal 1824 di Kema ) W. Muller di Manado (meninggal 1827 di Manado) Mereka meninggal karena penyakit Typus.Dalam pelayanan, mereka mengalamai banyak hambatan dan tantangan terutama dari kalangan turunan Eropa.Tahun 1827 pelayanan manado diganti oleh Ds. G. J. Helendoorn. 4 tahun kemudian tahun 1831 dikirim lagi 2 Orang pelayan yaitu : Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwars. Tahun 1855, NZG mengutus S.D. van der Velde van Capellen dari Minahasa ke Sangihe dan membaptis 5033 orang.Ketika itu S.D. van der Velde van Capellen sedang bertugas di Tareran,Minahasa.

Menurut Catatan Robertus Padburgge,1867, kerajaan Manarouw hancur akibat perang berkepanjangan dengan kerajaan Bolaang. Perang ini menyebabkan penduduk berserak sebagian ke pulau Sangir, Likupang dan Bitung. Menurut penuturan tua-tua bahwa sebagian orang sangir meninggalkan Manarouw akibat kekurangan makanan karena diserang oleh gerombolan kera serta adanya wabah penyakit. Penduduk yang kuat pergi ke Sangir, Likupang dan Bitung sedangkan yang sakit-sakitan mereka tetap tinggal menetap di Manarouw. Kerajaan ini didalam buku Kakawin Negara Kerta Gama oleh Empu Prapanca tahun 1365 disebut sebagai Uda Makataraya. Wilayah kerajaan ini terpisah dari sejarah orang Sangir-Talaud setelah Belanda dengan VOC menguasai perdagangan wilayah ini dengan kontrak perjanjian yang ditanda tangani oleh raja-raja Siau (arsip Perpustakaan Sulut)dan pada tahun 1908-1912 Manado dan sekitarnya diserahkan oleh raja Siau XVIII bernama A.J. Mohede kepada Assisten Residen, serta pada tahun 1951 dimana Manado menjadi Daerah Bagian Kota dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur Sulawesi tanggal 3 Mei 1951 Nomor 223. Tetapi hingga kini penduduk terbanyak di Kota Manado berasal dari Etnis Sangihe Talaud.

 

Sumber http://pendudukpribumimanado.blogspot.com/